Minggu, 12 Mei 2013

Perdagangan dalam Islam



Nama           : Irma Yunita
NIM              : 1112093000027
Jurusan        : Sistem Informasi/2A
Mata Kuliah : Dasar-dasar Ekonomi Islam



Dalam hadits, Rasulullah saw menyerukan anjuran untuk berdagang. Anjuran ini diperkuat dengan sabda, perbuatan dan taqrirnya. Dalam beberapa perkataannya yang sangat bijaksana itu kita dapat mendengarkan sebagai berikut: "Pedagang yang dapat dipercaya dan beramanat, akan bersama para Nabi, orang-orang yang dapat dipercaya dan orang-orang yang mati syahid." (Riwayat al-Hakim dan Tarmizi dengan sanad hasan).
Rasulullah menyejajarkan posisi pedagang yang dapat dipercaya dengan posisi seorang mujahid dan orang-orang yang mati syahid di jalan Allah, sebab sebagaimana kita ketahui dalam percaturan hidup, bahwa apa yang disebut jihad bukan hanya terbatas dalam medan perang semata-mata tetapi meliputi lapangan ekonomi juga.
Seorang pedagang dijanjikan suatu kedudukan yang begitu tinggi di sisi Allah serta pahala yang besar nanti di akhirat karena perdagangan itu pada umumnya diliputi oleh perasaan tamak dan mencari keuntungan yang besar dengan jalan apapun. Properti dapat melahirkan harta dan suatu keuntungan yang membangkitkan diri untuk mencapai keuntungan yang lebih banyak lagi. Maka dari itu barang siapa berdiri di atas dasar-dasar yang benar dan amanat, maka berarti dia sebagai seorang pejuang yang mencapai kemenangan dalam pertempuran melawan hawa nafsu. Justru itu pula dia akan memperoleh posisi sebagai mujahidin.
Dalam perdagangan tentu kita mengenal akad jual beli. Adapun akad jual beli yang dilakukan antara penjual dan pembeli menjadi sarana pertukaran barang. Penjual mendapatkan uang pembayaran dan pembeli mendapatkan barang. Sebagai konsekuensinya, penjual dapat memanfaatkan uang hasil penjualannya, dan sebaliknya pembeli dapat memanfaatkan barang pembeliannya.
Adapun rukun dari transaksi jual beli tersebut terdiri dari empat macam :
1.   Adanya orang yang berakad (penjual dan pembeli)
Akad merupakan perjanjian atau ikatan antara pihak penjual dan pembeli. Unsur-unsur terpenuhinya akad adalah :
a. Adanya orang yang berakad.
b. Adanya barang yang dijadikan objek dalam akad dan barang tersebut tidak dilarang oleh syara’.
c. Adanya sighat (ijab qabul)
Selain unsur-unsur tersebut, akad juga memiliki beberapa syarat :
1) Tidak menyalahi hukum Islam. Maksudnya perjanjian yang dilakukan bukan merupakan perbuatan yang bertentangan dengan hukum Islam.
2) Harus sama-sama rela. Maksudnya perjanjian atau akad yang dilakukan merupakan kesepakatan kedua pihak.
3) Harus jelas dan gamblang. Maksudnya akad yang dilakukan kedua pihak harus jelas tentang apa yang mereka akadkan sehingga tidak terjadi salah paham.
2.   Ijab Qabul
Ijab qabul adalah suatu pernyataan atau perbuatan untuk menunjukkan suatu keridlhaan (kerelaan) dalam berakad antar dua orang atau lebih.
3.   Adanya barang yang diperjual-belikan
Salah satu syarat barang yang diperjual-belikan adalah barangnya diketahui atau dapat dilihat, diketahui banyaknya, beratnya, takarannya atau ukuran yang lain.
4.   Syarat Nilai Tukar
Terkait dengan masalah nilai tukar, para ulama fiqih membedakan antara al-Ts\aman dengan al-Si’ir. Menurut mereka al-Ts\aman adalah harga pasar yang berlaku ditengah-tengah masyarakat secara aktual. Sedangkan al-Si’ir adalah modal barang yang seharusnya diterima pedagang sebelum dijual ke konsumen. Dengan demikian harga barang tersebut ada dua, yaitu harga antar pedagang dan harga antar pedagang dengan konsumen.
Namun, ada beberapa ketentuan yang harus diperhatikan oleh seorang penjual dan pembeli, diantaranya sebagai berikut.
·      Ketentuan Pertama: Transfer Kepemilikan
Manfaat utama akad jual beli adalah memindahkan kepemilikan barang. Dengan demikian, barang yang telah dijual oleh si penjual secara sah menjadi milik pembeli, Sehingga penjual dan siapa pun tidak lagi berhak menggunakannya kecuali atas izin dari pembeli.
·      Ketentuan Kedua: Manfaat dan Kerugian Barang
Sebagai konsekuensi langsung dari ketentuan pertama, maka segala manfaat barang setelah akad penjualan menjadi hak pembeli. Dan sebaliknya, segala kerugian atau kerusakan barang menjadi tanggung jawab pembeli. Ketentuan ini telah ditegaskan oleh Rasulullah saw dalam hadis berikut: Aisyah ra mengisahkan, "Ada seorang pria yang membeli seorang budak. Tidak berapa lama setelah, ia mendapatkan suatu cacat pada budak tersebut. Karena tidak mau rugi, ia mengembalikannya (kepada penjual). Akibatnya penjual mengadu (kepada Rasulullah saw) dan berkata, 'Wahai Rasulullah, sesungguhnya ia telah mempekerjakan budakku.' Maka Rasulullah saw menjawab keluhannya dengan bersabda, ' Keuntungan adalah imbalan atas tanggung jawab / jaminan '. "
Pada kisah ini, dengan tegas Rasulullah saw menjelaskan bahwa penggunaan barang adalah imbalan merupakan konsekuensi langsung dari kepemilikan pembeli atas suatu barang. Namun lain hal pada penjualan buah atau biji-bijian yang masih di atas pohonnya. Adapun buah atau biji-biian yang telah menua namun masih berada di atas pohonnya, dan kemudian karena suatu hal gagal panen, maka risiko menjadi tanggung jawab penjual. Hukum ini berlaku meskipun sebagai penjual telah memberikan kesempatan (menyerahkan) kepada pembeli untuk memanen buah atau biji-bijian yang telah ia beli. Pengecualian ini berdasarkan sabda Rasulullah saw : "Bila engkau membli buah dari saudaramu, lalu ditimpa bencana, maka tidak halal bagimu sedikit pun dari pembayarannya. Atas dasar apa engkau memakan uang pembayarannya tanpa alasan yang dibenarkan? "(Riwayat Muslim hadits no. 1554)
Ketentuan hukum ini terjadi dikarenakan pembeli belum sepenuhnya menerima barang yang ia beli, meskipun penjual telah memberikan kesempatan kepadanya untuk memanen. Musibah gagal panen yang menimpa, terjadi di luar kemampuannya sebagai manusia biasa. Karena itu, bila penjual tetap memungut uang pembayaran padahal pembeli gagal mendapatkan buah yang ia beli, berarti penjual telah memakan hartanya tanpa ada imbalan yang penjual berikan kepadanya.
·      Ketentuan Ketiga: Menjual Kembali ( resale )
Di antara konsekuensi dari kepemilikan barang, pembeli berhak menggunakan barang yang telah ia beli, termasuk dengan cara menjualnya kembali. Namun, ada tiga pantangan yang harus dihindari pada penjualan kembali barang yang telah dibeli.
1.      Jangan menjual kembali kepada penjual.
2.      Menjual kembali di tempat penjual pertama.
3.      Menjual sebelum menerima barang.
Hal ini dilarang karena khawatir menimbulkan praktik riba.
·      Ketentuan Keempat: Tidak Dapat Membatalkan Penjualan atau Pembelian
Di antara konsekuensi akad jual beli, antara kedua belah pihak tidak dapat membatalkan akad yang terjadi antara mereka tanpa izin pihak kedua. Hal ini berlaku selama tidak ditemukan cacat atau tindak kecurangan. Allah Ta'ala berfirman:
"Wahai orang-orang yang beriman penuhilah setiap akad-akad itu . "(QS. Al-Maidah: 1)
·      Ketentuan Kelima: Bebas Menentukan Harga Jual
Di antara konsekuensi atas kepemilikian pembeli terhadap suatu barang yang telah dibeli, maka pembeli berhak menentukan berapa pun harga jualnya. Sebagaimana pembeli bebas memasang batas nilai keuntungan yang dikehendaki dari barang tersebut. 

Contoh kasus jual beli :
Kasus praktek jual beli padi sebelum panen yang dilakukan masyarakat desa Ploso menjadi bahan hangat untuk diskusi. Yang menjadi akar permasalahan terjadinya keraguan terhadap hukum jual beli padi sebelum panen yang dipraktekkan masyarakat desa Ploso adalah adanya uang muka (sown payment). Dalam Islam biasa disebut bai’ urbun atau jual beli dengan perjanjian, apabila transaksinya dilanjutkan, maka uang muka adalah bagian dari harga, sedangkan apabila transaksinya batal, maka uang muka hilang dan menjadi milik penjual.
Menurut Imam Ahmad bin Hanbal, jual beli dengan uang muka sah adanya, berdasarkan hadis Nabi yang diriwayatkan ‘Abd al-Razaq dari Zaid bin Aslam dalam mushanifnya sebagai berikut :
“Dari Zaid bin Aslam bahwasanya ia telah bertanya kepada Rasul Allah saw. tentang ‘Urbun dalam jual beli, maka beliau menghalalkannya”. Alasan diperbolehkannya uang muka tersebut yaitu harus jelas waktunya, dan uang muka tersebut dimasukkan sebagai bagian pembayaran, bila pembelian berlanjut.
Tetapi banyak juga kalangan ulama yang melarangnya seperti madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dll. Berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Malik dari seorang yang tsiqah sebagai berikut :
Dari Amr ibn Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya bahwa Rasul Allah saw.
melarang jual beli urbun”.
Alasan jumhur ulama karena dalam jual beli urbun terdapat unsur gharar serta memakan harta orang lain tanpa adanya ‘iwadh (pengganti) yang sepadan dalam pandangan syariah. Meskipun DP tersebut digunakan untuk ikatan kedua pihak, bahwa pembeli telah benar-benar membeli padi tersebut.

Minggu, 28 April 2013

Zakat di Masa Kini


Zakat
Menunaikan zakat merupakan salah satu bagian dari rukun Islam. Menurut terminologi syariat, zakat adalah nama bagi sejumlah harta tertentu yang telah mencapai syariat tertentu yang diwajibkan oleh Allah untuk dikeluarkan dan diberikan kepada yang berhak menerimanya dengan persyaratan tertentu pula.
Kewajiban zakat dalam Islam berlandaskan al qur'an dan sunnah. Dalam al qur'an banyak ayat yang berbicara tentang zakat. Salah satunya dalam surat Al Baqarah ayat 43, Allah SWT Berfirman: "Dirikanlah shalat dan tunaikan zakat dan ruku'lah bersama orang-orang yang ruku’ “. Ada pula Sabda Nabi SAW: "Sesungguhnya Allah mewajibkan zakat atas orang-orang kaya dari umat Islam pada harta mereka dengan batas sesuai kecukupan fuqoro diantara mereka. Orang-orang fakir tidak akan kekurangan pada saat mereka lapar atau tidak berbaju kecuali karena ulah orang-orang kaya diantara mereka. Ingatlah bahwa Allah akan menghisab mereka dengan keras dan mengadzab mereka dengan pedih" (HR. Ath Thabrani dari Ali ra).
Jika ditanya siapa sajakah yang berhak menerima zakat? Jawabannya ada didalam Al-quran surat at Taubah ayat 60, Allah berfirman yang artinya "Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk fakir miskin, para amil, para muallaf yang dibujuk hatinya, mereka yang diperhamba, orang-orang yang berutang, yang berjuang di jalan Allah, dan orang kehabisan bekal di perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana."

Manfaat zakat
            Jika dilihat manfaatnya, manfaat zakat sangatlah besar bagi para mustahiq (golongan yang menerima zakat). Zakat sebagai alat yang sangat efektif mengembangkan potensi umat dan mengentaskan kemiskinan. Zakat merupakan ibadah yang memiliki hubungan langsung dengan ekonomi umat, dana-dana yang terkumpul dapat dimanfaatkan untuk modal usaha, investasi dan lain-lain. Sehingga para mustahiq dapat memanfaatkan untuk modal usaha, suatu saat ketika usaha tersebut berhasil ia tidak lagi menerima zakat tetapi mengeluarkan zakat. Sesuai dengan visi zakat merubah mustahik menjadi muzaki. 
            Manfaat zakat juga dapat dirasakan oleh para muzakki (pemberi zakat). Zakat dapat membersihkan harta dari hak milik orang lain dan menjaga dari ketamakan orang jahat, sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran surat At Taubah ayat 103: " Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan do'akanlah mereka karena sesungguhnya do'amu dapat memberi ketenangan bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." 
            Selain itu zakat dapat mensucikan jiwa dengan mengikis akhlak yang buruk, seperti, egois, serakah dan lain-lain yang merupakan fitrah manusia, yang memiliki kecenderungan untuk mencintai dan menyukai harta (QS. 3: 14). Kecenderungan yang buruk tersebut dapat dihilangkan dengan terbiasa berlatih dan mengeluarkan zakat, oleh karenanya zakat juga dapat mengembangkan akhlak mulia seperti kedermawanan, peduli terhadap sesama saling menyayangi dan saling mengasihi dan lain-lain. 

Zakat di Era Globalisasi
Di era globalisasi dan modernisasi saat sekarang ini, arus informasi begitu cepat dan mudah didapat, kejadian di belahan bumi utara dapat diketahui dengan cepat di belahan bumi lainnya. Teknologi semakin canggih seakan-akan mengubah dunia dari tidak mungkin menjadi mungkin. Namun sayang, keberhasilan itu tidak diikuti dengan meningkatnya kesejahteraan masyarakat. Realitanya adalah yang miskin semakin miskin dan yang kaya semakin kaya.
Tingkat kepedulian terhadap sesama begitu rendah. Masing-masing orang sibuk dengan urusannya sendiri, kalaupun peduli terkadang sebagian orang memiliki tujuan tertentu di balik kepeduliannya itu. Saat ini kemiskinan merajelala, orang meminta dimana-mana, inilah realita bangsa yang mayoritas warganya adalah umat muslim.
            Konsep zakat adalah jawaban dari permasalahan ini. Pada saat ini zakat mulai didengungkan oleh masyarakat Islam. Zakat sangat perlu diterapkan dan dioptimalkan di Indonesia. Sebagaimana kita tahu juga bahwa zakat diwajibkan untuk umat islam yang hartanya telah mencapai batas/nishab untuk dizakatkan.
Dengan adanya globalisasi, pelaksanaan zakat dapat lebih mudah. Mulai dari cara pembayaran, pengelolaan hingga pendistribusian. Dalam masalah pembayaran, orang yang hendak membayar zakat tidak perlu susah lagi mendatangi lembaga-lembaga amil zakat atau masjid-masjid, tetapi dapat dengan menggunakan tekonologi modern, seperti transfer via bank, ATM dan lain sebagainya. Dalam hal pendistribusian, saat ini pendistribusian zakat tidak lagi dengan cara-cara konsumtif, tetapi lebih bersifat produktif, bahkan pada masa Rasulullah SAW. pernah juga dilakukan. Saat ini pendistribusian dilakukan dengan sistem perberdayaan masyarakat dhuafa, ekonomi, pendidikan, kesehatan, dakwah dan lain-lain.

Bagaimana Potensi Zakat di Indonesia?
            Menurut hasil penelitian Pusat Bahasa dan Budaya UIN Syarif Hidayatullah dan Ford Foundation tahun 2005 mengungkapkan, jumlah potensi filantropi (kedermawanan) umat Islam Indonesia mencapai 19,3 trilyun pertahun. Pada kenyataannya, dana zakat yang berhasil dihimpun dari masyarakat masih jauh dari potensi yang sebenarnya. Sebagai perbandingan, dana zakat yang berhasil dikumpulkan oleh lembaga-lembaga pengumpul zakat hanya beberapa puluh milyar saja. Itu pun sudah bercampur dengan infak, hibah, dan wakaf.
            Selain itu berdasarkan kajian Asian Development Bank (ADB) potensi zakat di Indonesia mencapai Rp100 triliun, sementara zakat yang terkumpul oleh Baznas masih sangat kecil. Ketua Umum Badan Amil Zakat Nasional (Baznas), Didin Hafidudin,  menuturkan bahwa, pada 2007 dana zakat yang terkumpul di Baznas mencapai Rp450 miliar, 2008 meningkat menjadi Rp920 miliar, dan pada 2009 tumbuh menjadi RP 1,2 triliun. Untuk tahun 2010, dengan berbagai program sosialisasi, Baznas bisa terkumpul mencapai Rp1,5 triliun.
Hal ini menunjukkan bahwa belum adanya kesadaran secara penuh di kalangan umat muslim akan kewajiban untuk menunaikan zakat. Padahal zakat semestinya dapat diberdayakan untuk menjembatani kesenjangan ekonomi antara si kaya dan si miskin sehingga akan mampu mewujudkan keadilan sosial yang pada gilirannya kondusif bagi perkembangan iklim usaha. Dibuktikan dari hasil penelitian Kholilah CIES UB Malang 2011, menunjukkan bahwa persoalan kesenjangan kaya dan miskin tidak akan melebar bahkan mengecil asalkan kebijakan dan manajemen zakat secara komprehensif dibenahi dan diberdayakan oleh pemerintah.

Bagaimana Manajemen Pelaksanaan Zakat di Indonesia ?
Dengan dijadikannya zakat sebagai instrumen pemerataan kekayaan maka harta selanjutnya harus didistribusikan kepada pihak lain yang berhak seperti yang telah disebutkan sebelumnya yaitu Fakir, Miskin, Amil, Mu’allaf, Hamba Sahaya, Gharimin, Fii Sabilillah, dan Ibnu Sabil. Sehingga hal tersebut perlu diatur dalam sebuah mekanisme redistribusi yang jelas, tentunya redistribusi pendapatan dan kekayaan tersebut. Disinilah tugas pemerintah untuk mengatur penyaluran harta zakat semaksimal mungkin.
Dalam hal zakat ini, pemerintah sedikit lebih bijak dalam mengambil keputusan. Ini terwujud dengan dikeluarkannya undang-undang yang berkaitan dengannya, sekaligus berkaitan dengan pajak. Undang-undang yang mengatur tentang pelaksanaan zakat tersebut adalah undang-undang No. 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat yang didalamnya menyebutkan antara lain bahwa pengelolaan zakat di Indonesia dilakukan oleh Badan Amil Zakat (BAZ) yang dibentuk pemerintah dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang dibentuk masyarakat. Dengan adanya lembaga yang mengatur harta zakat tersebut dengan harapan pemerataan bisa dilakukan dan kemiskinan dapat segera diminimalisir.
            Sebagai contoh, Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) melakukan sosialisasi zakat agar umat muslim sadar akan kewajibannya berzakat dan pemerataan pendapatan dapat terwujud. Basnaz menyatakan akan terus mensosialisasikan pembentukan Unit Pelayanan Zakat (UPZ) demi menggapai potensi zakat secara nasional yang diperkirakan mencapai Rp100 triliun.

Bagaimana dengan Pajak?
Zakat dan Pajak merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam kegiatan pemenuhan kewajiban baik dalam kehidupan bernegara maupun beragama. Namun, namun keduanya mempunyai falsafah khusus, berbeda sifat dan asasnya, berbeda sumbernya, sasaran, bagian serta kadarnya, disamping itu berbeda pula mengenai prinsip, tujuan dan jaminannya. Sesungguhnya ummat Islam dapat melihat bahwa zakat tetap menduduki peringkat tertinggi dibandingkan dengan hasil pemikiran keuangan dan perpajakan zaman modern, baik dari segi prinsip maupun hukum-hukumnya.
Pajak ialah kewajiban yang ditetapkan terhadap wajib pajak, yang harus disetorkan kepada negara sesuai  dengan ketentuan, tanpa mendapat prestasi kembali dari negara dan hasilnya untuk membiayai pengeluaran umum negara dan untuk merealisasikan tujuan ekonomi, sosial, politik dan tujuan-tujuan lain yang ingin dicapai negara. Sedangkan, zakat ialah hak tertentu yang diwajibkan Allah SWT. terhadap kaum Muslimin yang diperuntukkan bagi mereka yang berhak, sebagai tanda syukur atas nikmat Allah. dan untuk mendekatkan diri kepadaNya, serta untuk membersihkan diri dan hartanya.
Namun setelah mengkaji beberapa perbedaan antara pajak dan zakat maka dapat dimengerti bahwa zakat tidak dapat digantikan oleh pajak, walaupun sasaran zakat dapat dipenuhi sepenuhnya oleh pengeluaran dari pajak. Hal ini dikarenakan zakat berkaitan dengan ibadah yang diwarnai dengan kemurnian niat karena Allah. Ini adalah tali penghubung seorang hamba dengan khaliqnya yang tidak bisa digantikan dengan mekanisme lain apapun. Zakat adalah mekanisme yang unik Islami, sejak dari niat menyerahkan, mengumpulkan dan mendistribusikannya. Maka apapun yang diambil negara dalam konteks bukan zakat tidak bisa diniatkan oleh seorang Muslim sebagai zakat hartanya.

Hubungan zakat dengan kesejahteraan umat
            Zakat merupakan sistem ekonomi umat islam. Jadi, apabila fungsi zakat sebagai instrumen penyaluran kekayaan ini dijalankan secara maksimal dengan pembagian yang merata, maka persoalan kemiskinan dan kesenjangan sosial dapat diperkecil.
Sebenarnya kemiskinan bukanlah permasalahan kesadaran orang kaya akan pentingnya harta zakat. Tetapi juga disebabkan oleh krisis mental orang miskin yang malas untuk bangkit yang telah melanda sebagian besar masyarakat muslim saat ini. Jika kita berkaca kembali pada al-Quran, sebenarnya Allah telah menjelaskan pada umat islam bahwa kemiskinan tidak datang dari Sang Pencipta, akan tetapi kemiskinan datang dari manusia itu sendiri. Bahkan Islam juga tidak mengizinkan umatnya menjauhkan diri dari pencaharian kehidupan dan hidup hanya dari pemberian orang.
            Sehingga upaya pertama yang harus dilakukan adalah upaya perubahan mental dari dalam diri orang-orang miskin untuk bekerja dan berusaha. Kemudian barulah upaya memberikan pemahaman kepada orang-orang kaya akan kesadaran mengeluarkan zakat. Tentunya harus dibarengi juga dengan manajemen pemerataan zakat secara profesional oleh pemerintah. Jika tiga unsur tersebut bisa berhasil barulah kesejahteraan sosial umat akan tercipta.

Kesimpulan
            Manfaat dan tujuan dari zakat akan terwujud apabila kita semua sebagai umat muslim paham akan kewajiban berzakat. Dengan begitu proses pendistribusian kekayaan dapat terlaksana dengan cepat dan baik. Selain itu, dengan adanya zakat diharapkan dapat mendorong produktivitas para mustahiq, sehingga merubah statusnya menjadi muzakki dan kesejahteraan umat akan meningkat.


***
Nama : Irma Yunita
NIM :1112093000027
Mata Kuliah : Dasar-dasar Ekonomi Islam
Jurusan : Sistem Informasi/2A
Fakultas : Sains dan Teknologi
UIN Syariff Hidayatullah Jakarta



Referensi



Sabtu, 30 Maret 2013

Menuju Ekonomi Islam


Mahmoud Abu-Saud



The meaning of the word Islamic, the Islamic economic system is where trusted and applicated entire teachings of Islam in all aspects of life. The goal is to formulate a general theory of Islamic economics, in order to help researchers to conduct their research analysis without difficulty.


Metodologi
Subyek
Dalam mempelajari ekonomi islam, ada dua persoalan utama yang harus dipertimbangkan, yaitu :
1. Hubungan antara ekonomi dengan aspek lainnya yang bersifat duniawi dalam ideologi islam.
2. Prinsip ekonomi islam.

Metode-metode Penelitian
Untuk mempelajari kedua persoalan diatas, perlu dipertimbangkan hal-hal berikut :
Semua ayat Al-qur’an dan Sunnah yang berkaitan dengan subyek ini harus diidentifikasi.
Pembelajaran terhadap fiqh klasik harus dilakukan untuk menafsirkan ayat-ayat dan untuk mengaplikasikannya pada masa ini.
Manfaat dari ilmu usul al fiqh harus dioptimalkan.

Sistem Ekonomi yang Islami
Subyek-subyek Ekonomi
Dalam sistem Islam, ekonomi mencakup dua elemen :
1. Al Mu’amalat, pembelajaran mengenai aktifitas manusia yang berkaitan dengan pertukaran untuk mendapatkan kepuasan atas kebutuhan material sebagaimana yang diatur dalam aturan islam.
2. Pembelajaran mengenai perilaku individu dan masyarakat dalam kegiatan produksi, konsumsi, dan distribusi barang.
Didalam perilaku ekonomi haruslah mencerminkan nilai moral sebagai motif di balik kegiatan material dan transaksi. Nilai moral memiliki dampak besar pada perilaku transaksi setiap individu. Kurva supply and demand, pergerakan pasar, dan produktivitas, semua ini membawa ciri dari nilai-nilai islam dan dipengaruhi oleh nilai nilai tersebut.

Zakat
Zakat adalah inti dari filosofi ekonomi islam dan penyusun dari sistem fungsionalnya. Pengadaan zakat mengemukakan kenyataan bahwa Allah adalah Tuhan dan Pencipta dari semua manusia dan Pemilik Asli dari semua kekayaan. Semua harta kekayaan, termasuk uang, pasti berkurang seiring waktu. Kecuali jika kekayaan itu diinvestasikan, kekayaan itu berkurang dalam nilai atau dalam substansinya.

Prinsip-Prinsip Sistem Ekonomi Islam (Zakat Transaksional)
Prinsip Vicegerency (istikhlaf)
Kepemilikan pribadi diakui dalam islam, namun hanya sebagai penyerahan dari Allah kepada hamba-Nya. Jadi, manusia tidak bisa menggunakan apapun yang dalam kepemilikannya tanpa batasan, atau tidak sesuai dengan ketetapan yang telah ditentukan oleh Allah.
Ada 3 ketentuan utama terhadap kepemilikan pribadi :
1. Kepemilikan haruslah diperoleh melalui cara yang legal.
2. Kepemilikan pribadi tidak boleh membahayakan kepentingan publik. Oleh karena itu, apabila kepentingan publik membutuhkan manfaat dari property pribadi, pemiliknya haruslah memberikan bantuan secara penuh.
3. Pemilik harus menginvestasikan dan mengelola apa yang dimilikinya dengan cara yang bisa diterima dan tanpa melanggar hokum yang berlaku.

Hukum Depresiasi (Penurunan Harga)
Jika uang mengalami depresiasi, tak ada seorang pun yang tertarik untuk menyimpannya. Uang itu akan ditempatkan kembali ke dalam perputaran segera setelah uang itu diterima, sehingga menyebabkan lebih banyak permintaan terhadap barang yang tersedia. Permintaan efektif yang berkelanjutan dapat meningkatkan produksi untuk menambah persediaan, yang akan membuat meningkatnya tingkat penerimaan kerja dan meningkatnya upah pegawai. Gaji yang tinggi akan membuat lebih banyak permintaan dan lebih banyak persediaan dan seterusnya.

Pekerjaan dan Upah
Kerja yang produktif sangat diperlukan, menurut ajaran Al-Qur’an, dan untuk mengupahinya adalah keharusan. Namun lain dengan kasus bunga bank, bunga sebagai upah untuk menyimpan uang adalah riba dan dikategorikan sebagai yang dilarang. Sudah sewajarnyalah upah harus diberikan sepadan dengan kerja yang dilakukan.

Kehilangan untuk Bisa Mendapatkan
Siapapun yang berharap untuk mendapatkan hasil dari transaksi apapun juga harus siap untuk menerima kehilangan yang sebanding. Hal ini merupakan dasar dari semua transaksi islam. Segala macam perdagangan yang menjanjikan hasil yang pasti tanpa kemungkinan akan kehilangan adalah illegal dan tidak berlaku.

Tak Ada Kerugian
Tak seorang pun diizinkan untuk merugikan dirinya sendiri maupun orang lain ketika melakukan kegiatan ekonomi.

Peran dari Negara dalam Kegiatan Ekonomi
Syariah memperbolehkan negara untuk turut campur dalam semua kegiatan sosial warganya, namun hanya dalam batasan yang sempit dan yang kebanyakan berfungsi untuk mengaplikasikan prinsip-prinsip dasar “menikmati barang-barang dan melarang yang salah”, untuk menjaga hak para warga, untuk mempertahankan negara, dan untuk menyediakan pelayanan publik ketika para individu tidak dapat menanggung tanggung jawab seperti itu.  

Kesimpulan
Menuju ekonomi islam, adalah program yang sedang dijalankan diberbagai negara muslim. Sistem ekonomi islam ini bergantung pada adopsi dari doktrin-doktrin Islam (Syari’ah) atau ideology di dalam aspek-aspek politik, sosial, dan estetis di dalam kehidupan. Semua aspek ini bergantung satu sama lain.
Persoalan yang harus dipertimbangkan dalam mempelajari ekonomi islam adalah hubungan antara ekonomi dengan aspek lainnya dan juga prinsip-prinsip ekonomi islam. Untuk dapat mempelajari kedua persoalan tersebut kita harus mempertimbangkan ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadist untuk diidentifikasi.
Selain itu, dalam berperilaku ekonomi sudah sepatutnya kita mencerminkan nilai-nilai moral yang sesuai dengan ajaran Al-qur’an dan Hadist, karena hal ini berdampak besar pada kegiatan ekonomi yang berkembang di masyarakat.

Pendapat
Menurut pendapat saya, ekonomi sangat berkaitan dengan dengan aspek lainnya terutama aspek sosial. Karena salah satu harapan yang diinginkan pengembangan ekonomi adalah  dampaknya dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat, dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya.
                Mempertimbangkan ayat Al-Qur’an dan Hadist adalah hal yang harus dilakukan dalam kegiatan ekonomi terutama dalam mempelajari segla persoalan yang ada. Al-Qur’an dan Hadist lah sumber pedoman hidup umat muslim dan segala kegiatan pun diatur didalamnya.
                Perintah untuk berzakat mengandung filosofi bahwa semua yang kita miliki adalah sebenar-benarnya adalah milik-Nya. Dengan kita berzakat itu akan mempengaruhi perputaran roda ekonomi suatu negara. Pada dasarnya jika semua orang yang ada dapat berzakat sesuai dengan ketentuan, maka itu dapat mensejahterakan orang fakir miskin dan orang-orang yang tidak mampu lainnya. Namun sayang, karena masih saja ada oknum-oknum yang berusaha untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya hanya untuk diri sendiri, tidak memperdulikan kehidupan masyarakat sekitarnya.
Sehingga sangat diperlukan peran pemerintah yang aktif untuk melakukan pengawasan terhadap jalannya roda perekonomian dari adanya penyelewengan atau distorsi seperti monopoli, upah minimum, harga pasar dll. Selain itu juga dalam distribusi kekayaan dan pendapatan serta kebijakan fiskal yang seimbang.



Irma Yunita
1112093000027
Sistem Informasi/2A
UIN Syarif Hidayatullah jakarta