Minggu, 12 Mei 2013

Perdagangan dalam Islam



Nama           : Irma Yunita
NIM              : 1112093000027
Jurusan        : Sistem Informasi/2A
Mata Kuliah : Dasar-dasar Ekonomi Islam



Dalam hadits, Rasulullah saw menyerukan anjuran untuk berdagang. Anjuran ini diperkuat dengan sabda, perbuatan dan taqrirnya. Dalam beberapa perkataannya yang sangat bijaksana itu kita dapat mendengarkan sebagai berikut: "Pedagang yang dapat dipercaya dan beramanat, akan bersama para Nabi, orang-orang yang dapat dipercaya dan orang-orang yang mati syahid." (Riwayat al-Hakim dan Tarmizi dengan sanad hasan).
Rasulullah menyejajarkan posisi pedagang yang dapat dipercaya dengan posisi seorang mujahid dan orang-orang yang mati syahid di jalan Allah, sebab sebagaimana kita ketahui dalam percaturan hidup, bahwa apa yang disebut jihad bukan hanya terbatas dalam medan perang semata-mata tetapi meliputi lapangan ekonomi juga.
Seorang pedagang dijanjikan suatu kedudukan yang begitu tinggi di sisi Allah serta pahala yang besar nanti di akhirat karena perdagangan itu pada umumnya diliputi oleh perasaan tamak dan mencari keuntungan yang besar dengan jalan apapun. Properti dapat melahirkan harta dan suatu keuntungan yang membangkitkan diri untuk mencapai keuntungan yang lebih banyak lagi. Maka dari itu barang siapa berdiri di atas dasar-dasar yang benar dan amanat, maka berarti dia sebagai seorang pejuang yang mencapai kemenangan dalam pertempuran melawan hawa nafsu. Justru itu pula dia akan memperoleh posisi sebagai mujahidin.
Dalam perdagangan tentu kita mengenal akad jual beli. Adapun akad jual beli yang dilakukan antara penjual dan pembeli menjadi sarana pertukaran barang. Penjual mendapatkan uang pembayaran dan pembeli mendapatkan barang. Sebagai konsekuensinya, penjual dapat memanfaatkan uang hasil penjualannya, dan sebaliknya pembeli dapat memanfaatkan barang pembeliannya.
Adapun rukun dari transaksi jual beli tersebut terdiri dari empat macam :
1.   Adanya orang yang berakad (penjual dan pembeli)
Akad merupakan perjanjian atau ikatan antara pihak penjual dan pembeli. Unsur-unsur terpenuhinya akad adalah :
a. Adanya orang yang berakad.
b. Adanya barang yang dijadikan objek dalam akad dan barang tersebut tidak dilarang oleh syara’.
c. Adanya sighat (ijab qabul)
Selain unsur-unsur tersebut, akad juga memiliki beberapa syarat :
1) Tidak menyalahi hukum Islam. Maksudnya perjanjian yang dilakukan bukan merupakan perbuatan yang bertentangan dengan hukum Islam.
2) Harus sama-sama rela. Maksudnya perjanjian atau akad yang dilakukan merupakan kesepakatan kedua pihak.
3) Harus jelas dan gamblang. Maksudnya akad yang dilakukan kedua pihak harus jelas tentang apa yang mereka akadkan sehingga tidak terjadi salah paham.
2.   Ijab Qabul
Ijab qabul adalah suatu pernyataan atau perbuatan untuk menunjukkan suatu keridlhaan (kerelaan) dalam berakad antar dua orang atau lebih.
3.   Adanya barang yang diperjual-belikan
Salah satu syarat barang yang diperjual-belikan adalah barangnya diketahui atau dapat dilihat, diketahui banyaknya, beratnya, takarannya atau ukuran yang lain.
4.   Syarat Nilai Tukar
Terkait dengan masalah nilai tukar, para ulama fiqih membedakan antara al-Ts\aman dengan al-Si’ir. Menurut mereka al-Ts\aman adalah harga pasar yang berlaku ditengah-tengah masyarakat secara aktual. Sedangkan al-Si’ir adalah modal barang yang seharusnya diterima pedagang sebelum dijual ke konsumen. Dengan demikian harga barang tersebut ada dua, yaitu harga antar pedagang dan harga antar pedagang dengan konsumen.
Namun, ada beberapa ketentuan yang harus diperhatikan oleh seorang penjual dan pembeli, diantaranya sebagai berikut.
·      Ketentuan Pertama: Transfer Kepemilikan
Manfaat utama akad jual beli adalah memindahkan kepemilikan barang. Dengan demikian, barang yang telah dijual oleh si penjual secara sah menjadi milik pembeli, Sehingga penjual dan siapa pun tidak lagi berhak menggunakannya kecuali atas izin dari pembeli.
·      Ketentuan Kedua: Manfaat dan Kerugian Barang
Sebagai konsekuensi langsung dari ketentuan pertama, maka segala manfaat barang setelah akad penjualan menjadi hak pembeli. Dan sebaliknya, segala kerugian atau kerusakan barang menjadi tanggung jawab pembeli. Ketentuan ini telah ditegaskan oleh Rasulullah saw dalam hadis berikut: Aisyah ra mengisahkan, "Ada seorang pria yang membeli seorang budak. Tidak berapa lama setelah, ia mendapatkan suatu cacat pada budak tersebut. Karena tidak mau rugi, ia mengembalikannya (kepada penjual). Akibatnya penjual mengadu (kepada Rasulullah saw) dan berkata, 'Wahai Rasulullah, sesungguhnya ia telah mempekerjakan budakku.' Maka Rasulullah saw menjawab keluhannya dengan bersabda, ' Keuntungan adalah imbalan atas tanggung jawab / jaminan '. "
Pada kisah ini, dengan tegas Rasulullah saw menjelaskan bahwa penggunaan barang adalah imbalan merupakan konsekuensi langsung dari kepemilikan pembeli atas suatu barang. Namun lain hal pada penjualan buah atau biji-bijian yang masih di atas pohonnya. Adapun buah atau biji-biian yang telah menua namun masih berada di atas pohonnya, dan kemudian karena suatu hal gagal panen, maka risiko menjadi tanggung jawab penjual. Hukum ini berlaku meskipun sebagai penjual telah memberikan kesempatan (menyerahkan) kepada pembeli untuk memanen buah atau biji-bijian yang telah ia beli. Pengecualian ini berdasarkan sabda Rasulullah saw : "Bila engkau membli buah dari saudaramu, lalu ditimpa bencana, maka tidak halal bagimu sedikit pun dari pembayarannya. Atas dasar apa engkau memakan uang pembayarannya tanpa alasan yang dibenarkan? "(Riwayat Muslim hadits no. 1554)
Ketentuan hukum ini terjadi dikarenakan pembeli belum sepenuhnya menerima barang yang ia beli, meskipun penjual telah memberikan kesempatan kepadanya untuk memanen. Musibah gagal panen yang menimpa, terjadi di luar kemampuannya sebagai manusia biasa. Karena itu, bila penjual tetap memungut uang pembayaran padahal pembeli gagal mendapatkan buah yang ia beli, berarti penjual telah memakan hartanya tanpa ada imbalan yang penjual berikan kepadanya.
·      Ketentuan Ketiga: Menjual Kembali ( resale )
Di antara konsekuensi dari kepemilikan barang, pembeli berhak menggunakan barang yang telah ia beli, termasuk dengan cara menjualnya kembali. Namun, ada tiga pantangan yang harus dihindari pada penjualan kembali barang yang telah dibeli.
1.      Jangan menjual kembali kepada penjual.
2.      Menjual kembali di tempat penjual pertama.
3.      Menjual sebelum menerima barang.
Hal ini dilarang karena khawatir menimbulkan praktik riba.
·      Ketentuan Keempat: Tidak Dapat Membatalkan Penjualan atau Pembelian
Di antara konsekuensi akad jual beli, antara kedua belah pihak tidak dapat membatalkan akad yang terjadi antara mereka tanpa izin pihak kedua. Hal ini berlaku selama tidak ditemukan cacat atau tindak kecurangan. Allah Ta'ala berfirman:
"Wahai orang-orang yang beriman penuhilah setiap akad-akad itu . "(QS. Al-Maidah: 1)
·      Ketentuan Kelima: Bebas Menentukan Harga Jual
Di antara konsekuensi atas kepemilikian pembeli terhadap suatu barang yang telah dibeli, maka pembeli berhak menentukan berapa pun harga jualnya. Sebagaimana pembeli bebas memasang batas nilai keuntungan yang dikehendaki dari barang tersebut. 

Contoh kasus jual beli :
Kasus praktek jual beli padi sebelum panen yang dilakukan masyarakat desa Ploso menjadi bahan hangat untuk diskusi. Yang menjadi akar permasalahan terjadinya keraguan terhadap hukum jual beli padi sebelum panen yang dipraktekkan masyarakat desa Ploso adalah adanya uang muka (sown payment). Dalam Islam biasa disebut bai’ urbun atau jual beli dengan perjanjian, apabila transaksinya dilanjutkan, maka uang muka adalah bagian dari harga, sedangkan apabila transaksinya batal, maka uang muka hilang dan menjadi milik penjual.
Menurut Imam Ahmad bin Hanbal, jual beli dengan uang muka sah adanya, berdasarkan hadis Nabi yang diriwayatkan ‘Abd al-Razaq dari Zaid bin Aslam dalam mushanifnya sebagai berikut :
“Dari Zaid bin Aslam bahwasanya ia telah bertanya kepada Rasul Allah saw. tentang ‘Urbun dalam jual beli, maka beliau menghalalkannya”. Alasan diperbolehkannya uang muka tersebut yaitu harus jelas waktunya, dan uang muka tersebut dimasukkan sebagai bagian pembayaran, bila pembelian berlanjut.
Tetapi banyak juga kalangan ulama yang melarangnya seperti madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dll. Berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Malik dari seorang yang tsiqah sebagai berikut :
Dari Amr ibn Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya bahwa Rasul Allah saw.
melarang jual beli urbun”.
Alasan jumhur ulama karena dalam jual beli urbun terdapat unsur gharar serta memakan harta orang lain tanpa adanya ‘iwadh (pengganti) yang sepadan dalam pandangan syariah. Meskipun DP tersebut digunakan untuk ikatan kedua pihak, bahwa pembeli telah benar-benar membeli padi tersebut.