Nama : Irma Yunita
NIM : 1112093000027
Jurusan : Sistem Informasi/2A
Mata Kuliah : Dasar-dasar Ekonomi Islam
Dalam
hadits, Rasulullah saw menyerukan anjuran untuk berdagang. Anjuran ini
diperkuat dengan sabda, perbuatan dan taqrirnya. Dalam
beberapa perkataannya yang sangat bijaksana itu kita dapat mendengarkan sebagai
berikut:
"Pedagang
yang dapat dipercaya dan beramanat, akan bersama para Nabi, orang-orang yang
dapat dipercaya dan orang-orang yang mati syahid." (Riwayat al-Hakim
dan Tarmizi dengan sanad hasan).
Rasulullah
menyejajarkan posisi pedagang yang dapat dipercaya dengan posisi seorang
mujahid dan orang-orang yang mati syahid di jalan Allah, sebab sebagaimana kita
ketahui dalam percaturan hidup, bahwa apa yang disebut jihad bukan hanya
terbatas dalam medan perang semata-mata tetapi meliputi lapangan ekonomi juga.
Seorang
pedagang dijanjikan suatu kedudukan yang begitu tinggi di sisi Allah serta
pahala yang besar nanti di akhirat karena perdagangan itu pada umumnya diliputi
oleh perasaan tamak dan mencari keuntungan yang besar dengan jalan apapun. Properti
dapat melahirkan harta dan suatu keuntungan yang membangkitkan diri untuk
mencapai keuntungan yang lebih banyak lagi. Maka dari itu barang siapa
berdiri di atas dasar-dasar yang benar dan amanat, maka berarti dia sebagai
seorang pejuang yang mencapai kemenangan dalam pertempuran melawan hawa nafsu. Justru
itu pula dia akan memperoleh posisi sebagai mujahidin.
Dalam
perdagangan tentu kita mengenal akad jual beli. Adapun akad jual beli yang
dilakukan antara penjual dan pembeli menjadi sarana pertukaran barang. Penjual mendapatkan uang pembayaran dan pembeli mendapatkan
barang. Sebagai konsekuensinya, penjual dapat
memanfaatkan uang hasil penjualannya, dan sebaliknya pembeli dapat memanfaatkan
barang pembeliannya.
Adapun
rukun dari transaksi jual beli tersebut terdiri dari empat macam :
1.
Adanya orang yang berakad (penjual dan pembeli)
Akad merupakan perjanjian atau ikatan
antara pihak penjual dan pembeli. Unsur-unsur terpenuhinya akad adalah :
a. Adanya orang yang berakad.
b. Adanya barang yang dijadikan objek dalam akad dan barang
tersebut tidak dilarang oleh syara’.
c. Adanya sighat (ijab qabul)
Selain unsur-unsur tersebut, akad juga
memiliki beberapa syarat :
1) Tidak menyalahi hukum Islam. Maksudnya perjanjian yang
dilakukan bukan merupakan perbuatan yang bertentangan dengan hukum Islam.
2) Harus sama-sama rela. Maksudnya perjanjian atau akad yang
dilakukan merupakan kesepakatan kedua pihak.
3) Harus jelas dan gamblang. Maksudnya akad yang dilakukan
kedua pihak harus jelas tentang apa yang mereka akadkan sehingga tidak terjadi
salah paham.
2.
Ijab Qabul
Ijab qabul adalah suatu pernyataan atau
perbuatan untuk menunjukkan suatu keridlhaan (kerelaan) dalam berakad antar dua
orang atau lebih.
3.
Adanya barang yang diperjual-belikan
Salah satu syarat barang yang
diperjual-belikan adalah barangnya diketahui atau dapat dilihat, diketahui
banyaknya, beratnya, takarannya atau ukuran yang lain.
4.
Syarat Nilai Tukar
Terkait dengan masalah nilai tukar, para
ulama fiqih membedakan antara al-Ts\aman dengan al-Si’ir. Menurut mereka
al-Ts\aman adalah harga pasar yang berlaku ditengah-tengah masyarakat secara
aktual. Sedangkan al-Si’ir adalah modal barang yang seharusnya diterima pedagang
sebelum dijual ke konsumen. Dengan demikian harga barang tersebut ada dua,
yaitu harga antar pedagang dan harga antar pedagang dengan konsumen.
Namun,
ada beberapa ketentuan yang harus diperhatikan oleh seorang penjual dan pembeli,
diantaranya sebagai berikut.
· Ketentuan Pertama: Transfer Kepemilikan
Manfaat
utama akad jual beli adalah memindahkan kepemilikan barang. Dengan demikian, barang yang telah dijual oleh si penjual secara
sah menjadi milik pembeli, Sehingga penjual dan siapa pun tidak lagi berhak
menggunakannya kecuali atas izin dari pembeli.
· Ketentuan Kedua: Manfaat dan Kerugian Barang
Sebagai
konsekuensi langsung dari ketentuan pertama, maka segala manfaat barang setelah
akad penjualan menjadi hak pembeli. Dan sebaliknya, segala kerugian
atau kerusakan barang menjadi tanggung jawab pembeli. Ketentuan ini telah
ditegaskan oleh Rasulullah saw dalam hadis berikut: Aisyah ra mengisahkan, "Ada seorang
pria yang membeli seorang budak. Tidak berapa lama setelah, ia mendapatkan
suatu cacat pada budak tersebut. Karena tidak mau rugi, ia
mengembalikannya (kepada penjual). Akibatnya penjual mengadu (kepada Rasulullah saw) dan berkata, 'Wahai Rasulullah, sesungguhnya ia telah
mempekerjakan budakku.' Maka Rasulullah saw menjawab keluhannya dengan bersabda, ' Keuntungan
adalah imbalan atas tanggung jawab / jaminan '. "
Pada
kisah ini, dengan tegas Rasulullah saw menjelaskan bahwa penggunaan barang adalah imbalan merupakan
konsekuensi langsung dari kepemilikan pembeli atas suatu barang. Namun
lain hal pada penjualan buah atau biji-bijian yang masih di atas pohonnya.
Adapun buah atau biji-biian yang telah menua namun masih berada di
atas pohonnya, dan kemudian karena suatu hal gagal panen, maka risiko menjadi
tanggung jawab penjual. Hukum ini berlaku meskipun sebagai
penjual telah memberikan kesempatan (menyerahkan) kepada pembeli untuk memanen
buah atau biji-bijian yang telah ia beli. Pengecualian ini berdasarkan sabda
Rasulullah saw : "Bila engkau membli buah dari saudaramu, lalu ditimpa
bencana, maka tidak halal bagimu sedikit pun dari pembayarannya. Atas
dasar apa engkau memakan uang pembayarannya tanpa alasan yang dibenarkan? "(Riwayat Muslim hadits no. 1554)
Ketentuan
hukum ini terjadi dikarenakan pembeli belum sepenuhnya menerima barang yang ia
beli, meskipun penjual telah memberikan kesempatan kepadanya untuk memanen. Musibah gagal panen yang menimpa, terjadi di luar kemampuannya
sebagai manusia biasa. Karena itu, bila penjual tetap
memungut uang pembayaran padahal pembeli gagal mendapatkan buah yang ia beli,
berarti penjual telah memakan hartanya tanpa ada imbalan yang penjual berikan
kepadanya.
· Ketentuan Ketiga: Menjual Kembali ( resale )
Di
antara konsekuensi dari kepemilikan barang, pembeli berhak menggunakan barang
yang telah ia beli, termasuk dengan cara menjualnya kembali. Namun, ada tiga pantangan yang harus dihindari pada penjualan
kembali barang yang telah dibeli.
1.
Jangan menjual kembali kepada
penjual.
2.
Menjual kembali di tempat penjual
pertama.
3.
Menjual sebelum menerima barang.
Hal ini
dilarang karena khawatir menimbulkan praktik riba.
· Ketentuan Keempat: Tidak Dapat Membatalkan Penjualan atau Pembelian
Di
antara konsekuensi akad jual beli, antara kedua belah pihak tidak dapat
membatalkan akad yang terjadi antara mereka tanpa izin pihak kedua. Hal ini berlaku selama tidak ditemukan cacat atau tindak
kecurangan. Allah Ta'ala berfirman:
"Wahai
orang-orang yang beriman penuhilah setiap akad-akad itu . "(QS. Al-Maidah: 1)
· Ketentuan Kelima: Bebas Menentukan Harga Jual
Di
antara konsekuensi atas kepemilikian pembeli terhadap suatu barang yang telah
dibeli, maka pembeli berhak menentukan berapa pun harga jualnya. Sebagaimana pembeli bebas memasang batas nilai keuntungan yang
dikehendaki dari barang tersebut.
Contoh
kasus jual beli :
Kasus praktek jual beli padi sebelum panen yang dilakukan masyarakat
desa Ploso menjadi bahan hangat untuk diskusi. Yang menjadi akar permasalahan terjadinya
keraguan terhadap hukum jual beli padi sebelum panen yang dipraktekkan
masyarakat desa Ploso adalah adanya uang muka (sown payment). Dalam Islam biasa
disebut bai’ urbun atau jual beli dengan perjanjian, apabila transaksinya
dilanjutkan, maka uang muka adalah bagian dari harga, sedangkan apabila
transaksinya batal, maka uang muka hilang dan menjadi milik penjual.
Menurut
Imam Ahmad bin Hanbal, jual beli dengan uang muka sah adanya, berdasarkan hadis
Nabi yang diriwayatkan ‘Abd al-Razaq dari Zaid bin Aslam dalam mushanifnya
sebagai berikut :
“Dari Zaid bin Aslam bahwasanya ia telah
bertanya kepada Rasul Allah saw. tentang ‘Urbun dalam jual beli, maka beliau
menghalalkannya”. Alasan diperbolehkannya uang muka tersebut yaitu harus jelas
waktunya, dan uang muka tersebut dimasukkan sebagai bagian pembayaran, bila
pembelian berlanjut.
Tetapi
banyak juga kalangan ulama yang melarangnya seperti madzhab Hanafi, Maliki,
Syafi’i, dll. Berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Malik dari seorang
yang tsiqah sebagai berikut :
Dari Amr ibn Syu’aib dari ayahnya dari
kakeknya bahwa Rasul Allah saw.
melarang
jual beli urbun”.
Alasan
jumhur ulama karena dalam jual beli urbun terdapat unsur gharar serta memakan
harta orang lain tanpa adanya ‘iwadh (pengganti) yang sepadan dalam pandangan
syariah. Meskipun DP tersebut digunakan untuk ikatan kedua pihak, bahwa pembeli
telah benar-benar membeli padi tersebut.