Minggu, 10 Maret 2013

Pemikiran Ekonomi Islam dan “New Global Economy”


A.  Abstract

"New Global Economy" refers to the philosophy of "Neoclassical Economy" of liberalization, the concept is to realize that it would be difficult to achieve overall development if only the economic variables are maximized. It is, of course, explains that "the New Global Economy" not only adopted the goal to integrate the world economy through liberalization, but also through the boundaries of "Neoclassical Economics" takes into account several variables with socio-economic and political importance to promoting increased growth, which does not exist in the teaching of "Neoclassical Economics". Moreover, the problem is that justice is not got room in this concept. In the Islamic economic thought strategy in integrating the world economy, is promoting justice based on moral criteria, in accordance with the teachings of the Quran and Sunnah. So the developing Muslim countries must work hard to maintain a view of justice especially in this era of globalization that development lawyer's economic integration can be realized.

B.  Pemikiran Ekonomi Islam dan “New Global Economy”

1. Pengintegrasian dalam Ekonomi Dunia
Konsep “New Global Economy” merupakan versi daur ulang dari “Neoclassical Economics” yang dimana dalam Neoclassical Economics, penghapusan kontrol negara dan pengliberalisasian pasar dipercaya dapat membentuk pengembangan ekonomi yang lebih cepat. Namun, konsep ini menyadari untuk dapat mencapai pengembangan secara keseluruhan jika hanya variable ekonomi yang dimaksimalkan akan sulit. Karena selain pertumbuhan ekonomi, pengembangan juga harus mencakup tujuan sosial seperti kemiskinan, meningkatkan taraf hidup, pendidikan, dan pelayanan kesehatan yang lebih baik. Maka dari itu peran pemerintah pun dilibatkan.

2. Islam dan konsep “New Global Economy”
Al-Qur’an secara jelas menyatakan bahwa manusia diciptakan sebagai satu kesatuan, namun menjadi terbagi-bagi karena berbagai perbedaan diantara mereka sendiri. Proses penyatuan umat ini mungkin dapat dipercepat jika ekonomi dari negara yang berbeda diintegrasi, mengingat ekonomi memiliki peran dominan dalam kehidupan. Sehingga mengintegrasikan ekonomi dunia bukanlah hal baru dalam pemikiran muslim.

3. Peran dari Keadilan dalam Peng-integrasi-an
Islam secara jelas menyatakan bahwa usaha untuk mewujudkan penyatuan ekonomi tersebut tidak akan sukses jika tidak ada keadilan dan kesetaraan dalam interaksi antar manusia.

4. Keadilan VS Negosiasi
Tujuan untuk mengintegrasikan ekonomi dunia adalah hal wajar bagi Islam dan “New Global Economy”.  Namun, strategi untuk mencapainya sungguh berbeda. Islam mengedepankan keadilan berdasarkan kriteria moral dalam menentukan pertimbangan nilai, sedangkan “New Global Economy” mengandalkan negosiasi berdasarkan pada keuntungan pribadi.
“New Global Economy” mengacu pada aturan-aturan “Neoclassical Economics” yang sekuler, dimana tidak ada ruang untuk pertimbangan nilai, serta memaksimalkan kekayaan dan pencapaian keinginan adalah tujuan utamanya, selain itu, mendapatkan keuntungan pribadi merupakan hal yang paling memotivasi. Namun, hal ini tidak dapat menentukan keadilan tanpa pertama-tama menentukan yang mana benar dan yang mana salah, yang mana adil dan yang mana tidak, serta yang mana yang diinginkan dan yang mana yang tidak diinginkan. Hal ini memerlukan pertimbangan nilai. Jika pertimbangan nilai yang berdasarkan pada kriteria moral dihilangkan, maka satu-satunya cara untuk menentukan mana benar dan mana salah hanyalah berdasarkan keuntungan pribadi, dimana semua pihak akan mencoba mencapainya melalui negosiasi. Dalam negosiasi seperti itu, pada dasarnya yang paling kaya dan kuatlah yang akan mengeruk keuntungan yang besar.

5. Pendekatan Multidisiplin
Keputusan “New Global Economy” untuk turut mempertimbangkan variabel social dan politik sangatlah didukung, karena dalam Islam seluruh aspek kehidupan manusia sesungguhnya tersambung erat satu sama lain.

6. Kontribusi Ilmuwan-Ilmuwan Muslim
Pemikiran islam mengenai penyatuan umat dan kehidupan manusia tercerminkan dalam pemikiran ekonomi islam. Ibn Khaldun mencoba menjelaskan secara rasional mengapa kerjasama dan kebutuhan yang sama, dapat mempercepat perkembangan. Hal itu dapat menuntun kepada pembagian tenaga kerja dan keahlian, yang dapat meningkatkan efisiensi dan meningkatkan output berkali-kali lipat.
Ibn Khaldun juga memberikan penjelasan ilmiah tentang mengapa perdagangan mampu mempercepat pengembangan. Karena pengembangan bergantung pada aktivitas ekonomi dan pembagian tenaga kerja, yang secara langsung bergantung pada besarnya pasar dan peralatan.
Jadi dalam konsep pemikiran ekonomi Islam, ada alasan kuat untuk mendukung perdagangan antar negara karena hal itu dapat mendukung pertumbuhan dan menurunkan biaya hidup, yang kemudian membantu memastikan kesejahteraan. Oleh karena itu, tidak ada pembenaran atas larangan perdagangan, yang mencegah penyatuan umat manusia.
Ilmuwan Muslim telah mengadopsi pendekatan multidisiplin dalam analisis mereka dan tidak memfokuskan perhatian mereka hanya pada variabel ekonomi. Sehingga penyatuan variabel social-ekonomi dan politik ke dalam analisis “New Global Economy” juga bukanlah hal yang baru bagi pemikiran ekonomi Islam.

7. Pengedepanan Keadilan dalam Pemikiran Ekonomi Islam
Baik Ibn Khaldun maupun pendahulunya menyadari secara bersamaan bahwa pembagian tenaga kerja dan keahlian tidak dapat dipertahankan dalam waktu yang lama tanpa keadilan dan fairplay dalam transaksi antar manusia.
Dalam Pemikiran Ekonomi Islam, menciptakan pembatas buatan hanyalah akan menggagalkan tujuan untuk menyatukan umat manusia, dan menciptakan kesejahteraan bagi semuanya. Nanum, menciptakan penyatuan hanya dapat terjadi bila ada keadilan. Jika tidak ada keadilan, proses penyatuan mungkin akan berjalan pada awalnya, namun akan gagal pada akhirnya ketika negara-negara menyadari keuntungan dari penyatuan tidaklah dibagi rata.

8. Keadilan dan “New Global Economy”
Walaupun “New Global Economy” mengedepankan pengintegrasian ekonomi, hal itu tidak memberikan tempat penting untuk keadilan seperti yang diberikan dalam pemikiran Islam.

9. Benih-Benih Kegagalan
Karena tidak adanya keadilan, hasilnya yaitu, ketika negara miskin meliberalkan pasar mereka, negara kaya tetap secara tegas bersikap proteksionis, terutama di bidang seperti tekstil, pertanian, dan petrokimia. Karenanya, ketimpangan pendapatan terus meningkat di antara negara kaya dan miskin.

10. Tindakan di Masa Depan
Tantangan terberat yang harus hadapi negara-negara muslim berkembang adalah tingkat pendidikan dan teknologi dari orang-orang mereka yang rendah. Selain itu, menegakkan keadilan bagi orang miskin dan tertindas juga menjadi tantangan untuk mereka.
Muslim telah menjadi pencetus globalisasi. Seluruh wilayah di bawah pemerintahan Muslim menjadi pasar umum yang luas dan berkontribusi kepada pengembangan di segala  bidang dan memberikan peningkatan dalam pendapatan orang-orang. Sehingga menjadikan globalisasi sebagai tantangan dan juga kesempatan yang harus dihadapi adalah cara terbaik. Kita, sudah seharusnya, berjuang untuk keadilan, namun juga tidak lupa untuk memastikan pengenalan perubahan politik, hukum, social dan ekonomi yang dibutuhkan untuk memanfaatkan sumber daya kita secara efektif sehingga kemudian dapat memenuhi tantangan globalisasi.


C.  Kesimpulan
Pada dasarnya tujuaan Pemikiran Ekonomi Islam dan “New Global Economy” adalah sama yaitu mengintegrasikan ekonomi dunia. Namun, berbeda dalam strategi pelaksanaannya dalam mempercepat pertumbuhan dan pengembangan ekonomi.
        “New Global Economy” mengacu pada filosofi “Neoclassical Economy” mengenai liberalisasi pasar. Dalam konsep ini lebih mengandalkan negosiasi berdasarkan keuntungan pribadi, sehingga tidak ada ruang untuk keadilan dalam pertimbangan nilai. Ketika negara miskin meliberalkan pasar mereka, negara kaya tetap secara tegas bersikap proteksionis. Karenanya, ketimpangan pendapatan terus meningkat di antara negara kaya dan miskin. Memaksimalkan kekayaan adalah tujuan utamanya. Hasilnya, yang paling kaya dan kuatlah yang akan mengeruk keuntungan yang besar.
 Ekonomi Islam sangatlah berbeda. Ibn Khaldun mencoba menjelaskan secara rasional bahwa kerjasama dan kebutuhan yang sama, dapat mempercepat perkembangan. Hal itu dapat menuntun kepada pembagian tenaga kerja dan keahlian, yang dapat meningkatkan efisiensi dan meningkatkan output berkali-kali lipat. Perlu disadari juga bahwa hal ini tidak dapat bertahan lama tanpa ada keadilan didalamnya. Terlihat jelas konsep ini mengedepankan keadilan berdasarkan kriteria moral. Sebagaimana telah dijelaskan dalam Al-Qur’an bahwa keadilan merupakan tujuan utama mengapa Allah mengutus Rasul-Nya kepada umat manusia.
Menurut pendapat saya, dalam mengintegrasikan ekonomi dunia bukan hanya dilihat dari bagaimana keberhasilan pertumbuhan ekonomi itu sendiri melainkan harus ditinjau pula dari segi aspek-aspek lainnya terutama aspek sosial, meliputi angka pengangguran, kemiskinan, taraf hidup, pendidikan dan pelayanan kesehatannya. Karena dalam kehidupan ini terdapat aspek-aspek yang tersambung erat satu sama lain. Konsep Pemikiran Ekonomi Islam tentu sangat menyadari hal ini, dan selanjutnya diikuti pula oleh “New Global Economy”.
Walaupun demikian, penerapan “New Global Economy” memiliki kelemahan seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Mengapa demikian? Karena dalam “New Global Economy”, mendapatkan keuntungan pribadi sebesar-besarnya adalah hal yang paling memotivasi. 
Lain halnya dengan Pemikiran Ekonomi Islam yang sangat mengedepankan keadilan. Dengan tujuan awal ingin mempersatukan umat, menciptakan kesejahteraan yang adil bagi semuanya adalah salah satu caranya. Sehingga diharapkan hal ini dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi suatu negara tersebut.
Dengan adanya globalisasi sekarang ini, tantangan yang dihadapi semakin berat. Sudah seharusnyalah tingkat pendidikan dan teknologi ditingkatkan sebagai salah satu upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara-negara muslim berkembang. Serta penegakkan keadilan yang lebih baik di dalam ekonomi mereka harus tetap dijunjung tinggi.


Referensi:
Islamic Economic Studies, Vol.9, No.1, September 2001



Irma Yunita
1112093000027
Sistem Informasi/2A
UIN Syarif Hidayatullah jakarta

2 komentar: